13 February 2010

Implementasi Perbankan Syariah Terhadap Sektor Riil

Categories:

Keluarnnya UU Perbankan Syariah pertengahan Juni kemarin, ternyata telah menyita perhatian banyak pihak. Sebab, UU yang digembar-gemborkan mampu membawa perubahan ini, di harapkan dalam implementasinya mampu bekerja maksimal merangsang masuknya investor asing ke Indonesia.

Harapan pasar perbankan syariah yang cukup menjanjikan, seharusnya dapat dimanfaatkan oleh bank-bank syariah yang sudah ada sekarang ini, untuk menunjukkan kontribusinya membangkitkan perekonomian Indonesia.

Apalagi dengan adanya produk perbankan syariah lewat pembiayaan mudharaba, berpotensi besar mampu mendukung dunia usaha. Pembiayaan mudharaba, merupakan produk ciri khas dari perbankan syariah. Pada mekanisme dari pembiayaan ini menggunakan sistem bagi hasil. Dengan mudharaba diharapkan, perbankan syariah dapat membangkitkan sektor riil terutama UKM, yang notebene sering mengalami defisit keuangan dalam rangka pengembangan usahanya.

Dengan digalakkannya pembiayaan mudharabah oleh perbankan syariah, tentunya bukan hanya sekedar gaung saja. Dibalik itu, mampu memberikan angin segar bagi pergerakan di sektor riil. Apalagi ditambah pula, dengan pemberlakukan sukuk yang mengarah ke sektor keuangan. Oleh karenanya, dengan keberadaan UU Perbankan dan UU SBSN dapat menambah perangsang bagi investor untuk terjun langsung ke sektor riil.

Perkembangan industri perbankan, bagaikan sebuah mutiara. Orang-orang tertarik untuk mengeksploitasinya keindahannya. Itulah yang sekarang ini dialami oleh lembaga keuangan syariah. Hampir semua mayoritas perbankan di dunia ini mulai menggarapnya.

Perubahan haluan ini bukan tanpa alasan. Banyak sekali nasabah-nasabah yang selama ini berprinsip hukum syariah belum tertampung secara maksimal oleh dunia perbankan. Bahkan, mereka cenderung secara terpaksa menjadi nasabah bank konvensional. Sebagaimana diketahui, salah satu kelemahan bank konvensional, di dominasi oleh hal-hal yang berbau spekulasi, yang mana itu bertolak belakang dengan konsep perbankan syariah, yang bebas dari unsur-unsur spekulasi.

Unsur-unsur spekulasi inilah yang membuat perbankan konvensional, akhirnya mendirikan perbankan syariah. Bagaikan latah, hampir semua perbankan lokal, nasional dan internasional, mendirikan perbankan syariah. Salah satu alasannya, potensi pangsa syariah cukup besar. Beberapa bank umum berbasis konvesional mulai menggarap bank berbasis syariah baik berbentuk BUS atau masih berbentuk unit usaha syariah (UUS).

Memang tidak bisa kita pungkiri, perbankan konvensional mempunyai kelemahan, sering memanipulasi dana nasabah, tidak sedikit bank konvensional yang bermasalah. Oleh sebab itulah, bagai gayung bersambut, diharapkan menjadi kelemahan sistem konvensional, menjadi kekuatan sistem syariah yang berprinsip bagi hasil dan menjunjung tinggi kepercayaan dan moralitas.

Bahkan, kedua sistem perbankan ini, mampu bersinergi saling mengisi. Agar bisa menjadi pondasi kekuatan perekonomian Indonesia. Oleh kerenanya bank-bank syariah perlu menunjukkan kredibilitas dan kinerjanya, serta memaksimalkan diri supaya dapat merangsang kepercayaan pasar atau investor.

Fokus awal yang perlu diperhatikan oleh perbankan syariah ialah, memberikan jaminan pembiayaan khususnya di sektor UKM. Harapan itu sudah ditorehkan dalam UU Perbankan Syariah, dimana perbankan syariah mampu memberikan kontribusinya dalam pembiayaan sektor riil. Seiring pelaku UKM yang sering mengalami kesulitan disaat mengajukan pembiayaan kepada perbankan konvesional.

Menurut Menteri Agama Maftuh Basyuni, lahirnya UU ini diharapkan bisa mendorong industri perbankan dalam negeri untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.

“Kami berharap segera disusun aturan pelaksanaan UU ini oleh Bank Indonesia,” kata Maftuh.

Dalam UU Perbankan Syariah yang baru saja disahkan, terdapat pengaturan yang menyangkut soal Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, dan Unit Usaha Syariah (UUS) seperti soal kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha.

Adapun fungsinya, dalam Pasal 4, UU Perbankan Syariah, dijelaskan Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Selanjutnya dikatakan, bank syariah dan unit usaha syariah (UUS) dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.

Pengelolaan dana sosial perbankan syariah, yang diperoleh dari zakat, infak, dan sedekah, serta dana sosial yang berasal dari penerimaan operasi (qardh) tahun lalu naik 46 persen dari Rp 27,5 miliar (2006) menjadi Rp 40,1 miliar (2007). Dana ini disalurkan dalam bentuk zakat, pinjaman usaha, dan sumbangan qardh. Qardh dalam istilah sekarang disebut dengan corporate social responsibility (CSR).

Pada ayat selanjutnya dijelaskan, bank syariah dan UUS juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkan kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).

Adapun kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan UUS dalam UU ini dijelaskan antara lain untuk menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lainnya yang tidak bertentangan prinsip syariah juga melakukan usaha kartu debit dan atau kartu pembiayaan lainnya dengan prinsip syariah dan menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istisha’ atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lainnya berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan prinsip syariah serta banyak lagi kegiatan usaha lainnya yang menyerupai bank umum lainnya. Bedanya segala kegiatan usaha dalam UU ini harus dilandasi atas prinsip syariah.

Anggota Komisi XI DPR RI, F-PAN, Dradjad Wibowo, mengemukakan, UU Perbankan Syariah seyogianya bisa menggenjot kinerja perbankan syariah di Indonesia, termasuk bisa memposisikan market share asset hingga 5 persen sampai 10 persen dari total aset perbankan konvensional. Namun, diharapkan pengesahan UU Perbankan Syariah tidak menjadi euforia di kalangan perbankan sehingga aspek kehati-hatian masih tetap perlu diperhatikan.

“Dengan adanya UU perbankan syariah, target market share 5 persen sampai 10 persen bisa tercapai, dan juga alternatifnya layanan perbankan lebih banyak bagi masyarakat. Setelah itu tercapai, maka bank syariah bisa fokus di sektor UMKM,” jelasnya Dradjat Wibowo, usai acara rapat paripurna DPR RI.

Selain itu, dia juga meminta setelah pengesahan UU tersebut, agar komite perbankan syariah segera dibentuk oleh Bank Indonesia. Fungsi dari komite itu yang akan mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap bank-bank syariah.

Ia juga meminta perhatian kepada kalangan perbankan syariah, agar tidak terlena setelah mendapatkan landasan hukum yang jelas terkait pengesahan UU ini. “Perlu diwaspadai setelah adanya UU Syariah ini, bukan berarti tidak ada masalah. risiko kredit macet di perbankan syariah itu ada,” ingatnya.

Sementara itu, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia, Drs.H.M.Ichwan Sam, mengatakan ada tidak ada Undang-undang Perbankan Syariah, dalam kenyataanya perbankan syariah lebih banyak diakses dan menimbulkan sebuah gairah kepada usaha-usaha kecil mikro.

“Dengan kehadiran UU Perbankan Syariah sebetulnya sebagai peneguhan saja. Meski begitu, kita berharap lembaga-lembaga keuangan mampu menjalankan fungsinya tidak hanya di sektor riil tapi disektor-sektor lainpun juga”, ungkap Ichwan Sam.

Secara nominal memang kehadiran perbankan syariah dalam perkembangannya sekitar akhir 2009-2010 mampu menunjukkan eksistensinya terhadap perkembangan perekonomian 4 persen sampai 5 persen. Kenyataannya sekarang memang belum kearah sana. Namun demikian, sebagai sistem perbankan yang baru eksis, maka perlu sebuah perlakukan khusus.

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Implementasi Perbankan Syariah Terhadap Sektor Riil"

Post a Comment