13 February 2010

Pengaruh Likuiditas Ketat Terhadap Perbankan dan Sektor Riil

Categories:

Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang-hutangnya, dan dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan. Pada saat ini akibat krisis keuangan global, perbankan nasional mengalami imbasnya terutama ketatnya likuiditas di perbankan nasional.Ditambah dengan besarnya uang pemerintah yang ada di Bank Indonesia (BI) membuat likuiditas perbankan sangat ketat sehingga suku bunga ikut naik pula.

Bank-Bank Sentral di Amerika/USA,Eropa,Asia, dan Australia dalam menghadapi krisis keuangan global menurunkan atau mempertahankan suku bunganya sehingga pengetatan likuiditas berkurang dan memompa likuiditas ke pasar.Sedangkan BI dalam kapasitasnya sebagai Bank Sentral malah menaikkan suku bunga acuan atau BI rate dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada tanggal 7 Oktober 2008 sebesar 25 basis point dari 9.25% menjadi 9.50%. Kebijakan BI ini kontradiktif dengan kebijakan bank-bank sentral lainnya di Amerika,Eropa,Asia, dan Australia.

Bank Indonesia (BI) memilih mengamankan inflasi dan nilai rupiah, karena dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa (tercermin pada perkembangan laju inflasi), serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Laju inflasi bulan September 2008 yang mencapai 0.97%, sehingga inflasi tahun kalender 2008 (Januari-September 2008) mencapai 10.47%. Kondisi ini membuat target inflasi yang diproyeksikan pemerintah untuk tahun 2008 (APBN 2008) sebesar 11.4% semakin sulit dicapai. Selain itu nilai tukar/kurs rupiah terhadap US$ sempat melewati batas psikologis Rp.10.000, walaupun pada saat ini (minggu ketiga Oktober 2008) telah kembali dibawah Rp/10.000,-. Untuk meredam laju inflasi dan gejolak (volatile) nilai tukar/kurs rupiah terhadap mata uang negara lain, maka BI menaikkan suku bunga acuan atau BI rate 25 basis point dari 9.25% menjadi 9.50%. Kenaikan BI rate mengakibatkan ketatnya likuditas perbankan, sehingga bank kesulitan mendapatkan dana murah dari pihak ketiga (giro,tabungan,deposito) karena harus menaikkan suku bunga DPK tersebut, dan ketatnya likuiditas mengakibatkan naiknya suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Hal ini mengakibatkan cost of fund bank bertambah/meningkat.

Pertumbuhan kredit/LDR mecapai lebih 75% dibandingkan tahun lalu, dan pertumbuhan DPK sebsesar 20%-25% dibandingkan tahun lau. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan kredit (LDR) lebih besar dari pertumbuhan DPK. Pertumbuhan kredit (LDR) yang mencapai lebih dari 75% dilihat dari tingkat kesehatan bak terhadap faktor-faktor CAMEL (terutama dari likuiditas) termasuk rating 2 (dua) yang berarti baikdan stabilitas DPK termasuk rating 2 (dua) yang berarti DPK cukup stabil dan atau trend pertumbuhan positif.. Sayangnya pertumbuhan kredit (LDR) kebanyakan atau sebagian besar pada kredit konsumtif yang mengakibatkan ATMR naik, sedangkan DPK nya pun kebanyakan ada di simpanan atau deposto jangka pendek (1&3 bulan), sehingga bank harus membuat manajemen likuiditas yang baik agar dapat memenuhi kewajiban hutang-hutangnya, dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan

Kenaikan BI rate dan ketatnya likuiditas perbankan mengakibatkan sektor riil/sektor usaha tidak dapat tumbuh, karena suku bunga kredit naik dan mahal (khususnya kredit investasi), sehingga pelaku usaha enggan untuk melakukan ekspansi usahanya. Untuk mengatasi hal ini (ketatnya likuiditas bagi perbankan dan sektor riil/sektor usaha), maka pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yaitu :

  1. Perpu tentang JPSK (jaring Pengaman Sistem Keuangan)yang mengatur tindakan pencegahan dan penanganan krisis, yang meliputi penganan kesulitan likuiditas atau masalah solvabilitas perbankan atau lembaga keuangan lain/non bank.
  2. Perpu Penjaminanan Lembaga Penjamin Simpanana (LPS) tentang kenaikan batas simpananan masyarakat di bank yang dijamin oleh pemerintah, dari sebelumnyasimpanan yang dijamin sebesar Rp.100 juta menjadi Rp.2 milyar.
  3. Perpu tentang peran BI, yang mengatur perluasan agunan yang bisa menjadi jaminan jika ada bank yang membutuhkan pinjaman jangka pendek dari BI.

Selain itu BI mengeluarkan 5 (lima) aturan pelonggaran likuiditas yaitu :

  1. Perpanjangan tenor foreign exchange swap dari paling lama 7 hari menjadi 1 bulan. Langkah ini untuk memenuhi permintaan valuta dalam Dolar AS (USD) yang sifatnya temporer, sehingga memberi penyesuaian waktu yang cukupbagi bank atau pelaku pasar sebelum benar-benar melakukan penyesuaian portofolionya.
  2. Penyediaan pasokan valas bagi perusahaan domestik melalui pebankan. Ini untuk meningkatkan kepastian pemenuhan kebutuhan valas perusahaan domestik yang memiliki underlyng transactions.
  3. Penurunan GWM valas untuk bank umum konvesional dan syariah dari 3 % menjadi 1%.
  4. Pencabutan tentang batasan posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek, yang bertujuan untuk mengurangi tekanan pembelian dolar AS (USD) karena saat ini terjadi pengalihan rekening rupiah ke valas oleh nasabah asing.
  5. Penyederhanaan perhitungan GWM rupiah menjadi hanya 7.5% dari Dana Pihak Ketiga agar likuiditas dalam sistem perbankan menjadi lebih memadai.

Dengan adanya koordinasi yang baik antara Pemerintah sebagai otoritas fiskal dan BI sebagai otoritas moneter, maka bank dapat menjalankan fungsi intermediasi, dan sebagai agen pembangunan (agent of development) dalam hal bank sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi sektor riil dalam pengembangan usahanya, sehingga sektor riil tetap tumbuh dan berkembang, shingga bangsa Indoensia dapat meminimalisir dampak risiko krisis keuangan global.

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Pengaruh Likuiditas Ketat Terhadap Perbankan dan Sektor Riil"

Post a Comment